Dilihat: 50x

Oleh: Adam Maulana, S.H., CPM – Advokat dan Mediator Non Hakim

Jakarta, jurnaltimes.com

Eksekusi putusan pengadilan adalah ujung tombak dari proses peradilan perdata. Namun, dalam praktik, tidak semua putusan dapat dieksekusi. Permasalahan kerap muncul ketika sebuah putusan hanya mengandung amar deklarator (pernyataan) tanpa disertai amar kondemnator (penghukuman). Akibatnya, meski perkara sudah inkracht, putusan itu menjadi non eksekutabel alias tidak bisa dijalankan.

Menurut advokat dan mediator non hakim, Adam Maulana, S.H., CPM, kondisi ini sering menimbulkan kebingungan dan kekecewaan di kalangan pencari keadilan.

“Banyak klien yang datang dengan rasa kecewa setelah memenangkan perkara, namun ketika mengajukan eksekusi, ternyata permohonan mereka ditolak. Alasannya sederhana: dalam amar putusan tidak ada perintah penghukuman. Putusan hanya bersifat deklaratif, sekadar menyatakan keadaan, tanpa konsekuensi nyata yang bisa dipaksakan melalui eksekusi,” ujar Adam.

Asas-Asas Eksekusi: Syarat yang Harus Dipenuhi

Adam menjelaskan, eksekusi dalam hukum acara perdata memiliki asas yang harus dipenuhi:

  1. Putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) – tidak ada lagi upaya hukum biasa.
  2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela oleh pihak yang kalah – jika lawan tidak taat hukum.
  3. Putusan bersifat kondemnator – mengandung unsur penghukuman atau perintah nyata.
  4. Eksekusi dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan – dijalankan dalam struktur hukum formal.

“Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, terutama poin ketiga, maka putusan tidak dapat dieksekusi. Inilah titik krusial yang seringkali luput dari perhatian,” jelas Adam.

Membedakan Amar Kondemnator dan Amar Deklarator

Dalam praktik, hakim dapat menjatuhkan putusan yang berbeda bentuk.

Putusan Kondemnator: mengandung penghukuman terhadap pihak yang kalah. Misalnya:

Menghukum tergugat membayar sejumlah uang.

Menghukum tergugat mengosongkan tanah dan bangunan.

Memerintahkan tergugat menyerahkan barang atau dokumen tertentu.

Putusan Deklarator: hanya menyatakan atau menegaskan suatu keadaan hukum. Misalnya:

Menyatakan tergugat wanprestasi.

Menyatakan tergugat mempunyai kewajiban hutang.

Menyatakan perjanjian sah dan mengikat.

“Kalau hanya deklaratif, tentu tidak ada perintah yang bisa dipaksa oleh pengadilan. Putusan ini penting sebagai dasar hukum, tetapi tidak serta-merta bisa dieksekusi,” tegas Adam.

Kasus Nyata: Putusan Inkracht tapi Non Eksekutabel

Adam pernah menangani perkara wanprestasi, di mana penggugat sudah memenangkan gugatan dan putusannya inkracht. Namun, ketika diajukan eksekusi, Ketua Pengadilan menolak dengan alasan amar putusan tidak memuat perintah penghukuman.

“Putusan itu hanya menyatakan tergugat wanprestasi, tanpa ada amar menghukum tergugat membayar atau menyerahkan sesuatu. Akibatnya, eksekusi tidak bisa dilakukan. Padahal klien sudah menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan keadilan,” ungkap Adam.

Solusi Hukum: Mengajukan Gugatan Baru

Apa solusi ketika menghadapi putusan yang non eksekutabel?

Adam menyebutkan langkah yang diambil adalah mengajukan gugatan baru dengan posita yang merujuk pada putusan sebelumnya yang sudah berkekuatan hukum tetap. Salinan putusan lama dijadikan bukti utama, namun kali ini dalam petitum gugatan baru dimasukkan dengan tegas amar kondemnator.

“Ini memang seperti mengulang perkara, tetapi tidak ada jalan lain. Doktrin hukum yang disampaikan M. Yahya Harahap dalam bukunya Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata menegaskan, agar putusan deklarator bisa punya kekuatan eksekutorial, pihak yang berkepentingan harus mengajukan gugatan baru dengan amar penghukuman,” jelas Adam.

Saran: Hati-Hati Merumuskan Petitum Gugatan

Dari pengalaman ini, Adam memberikan pesan penting kepada para praktisi hukum maupun pencari keadilan:

  1. Jangan buru-buru euforia saat menang perkara. Pastikan amar putusan mengandung unsur kondemnator.
  2. Teliti dalam menyusun gugatan. Dalam petitum harus jelas tercantum permintaan penghukuman, bukan sekadar pernyataan.
  3. Gunakan doktrin dan yurisprudensi. Rujukan hukum yang tepat dapat memperkuat gugatan agar tidak terulang putusan non eksekutabel.

“Banyak orang mengira menang perkara berarti selesai. Padahal kalau tidak ada amar kondemnator, kemenangan itu bisa menjadi semu. Karena itu, advokat harus berhati-hati sejak awal menyusun gugatan agar keadilan klien benar-benar bisa diwujudkan,” pungkas Adam.

(Ismail Marjuki JPN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *