Empat Aktivis Terjaring OTT di Padangsidimpuan, Polisi Masih Bungkam

Padangsidimpuan, jurnalpolisi.id
Empat orang yang dikenal sebagai aktivis di Padangsidimpuan, Sumatera Utara, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh aparat Kepolisian Resor Padangsidimpuan, Senin malam, 6 Oktober 2025. Penangkapan dilakukan di sebuah kafe di kawasan Sitamiang, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan.
Dari informasi yang dihimpun , polisi mengamankan empat orang berinisial DS, MAB, ZP, dan ARH. Keempatnya diduga terlibat dalam kasus pemerasan terhadap pihak tertentu.
Dalam operasi itu, aparat disebut menyita barang bukti berupa uang tunai puluhan juta rupiah yang diduga hasil transaksi.
Hingga Selasa pagi, keempat orang itu masih diamankan di Mapolres Padangsidimpuan. Polisi belum membeberkan secara rinci siapa pihak yang menjadi korban pemerasan, dan dalam konteks apa uang itu diserahkan.
Namun, sumber internal di lingkungan kepolisian menyebutkan bahwa OTT tersebut berawal dari laporan masyarakat yang merasa diperas dengan dalih “kerja sama advokasi” dan ancaman unjuk rasa.
Kapolres Padangsidimpuan AKBP Wira Prayatna, saat dihubungi melalui telepon selulernya, belum memberikan tanggapan resmi.
Begitu pula Kasat Reskrim AKP Hasioalan Naibaho, yang hingga malam tadi tak merespons konfirmasi wartawan.
Di kalangan warga, kabar penangkapan ini cepat menyebar. Sejumlah warga Sitamiang dan sekitarnya menilai, keempat orang tersebut sudah lama dikenal karena kerap mengatasnamakan aktivis untuk mendatangi instansi pemerintah.
Mereka sering menggelar aksi unjuk rasa dengan membawa isu-isu korupsi dan pelayanan publik, namun belakangan dicurigai memanfaatkan kegiatan itu untuk menekan dan menagih uang tutup mulut.
“Sudah lama sebenarnya masyarakat resah. Mereka sering datang ke instansi, teriak-teriak soal isu korupsi, tapi ujung-ujungnya damai di belakang,” ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Menurut warga lainnya, praktik seperti ini membuat citra gerakan sosial di Padangsidimpuan kian tercoreng. Banyak aktivis sejati yang merasa gerah karena perjuangan mereka untuk menegakkan keadilan sosial kini kerap disamakan dengan kelompok yang menjadikan demonstrasi sebagai ladang bisnis baru.
Kasus ini menambah daftar panjang praktik penyalahgunaan nama aktivis di daerah. Di satu sisi, gerakan masyarakat sipil sejatinya berfungsi sebagai pengawas moral terhadap pemerintah.
Namun di sisi lain, muncul fenomena baru kelompok yang mengaku memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi di balik layar justru menjual pengaruh dan isu untuk kepentingan pribadi.
Seorang tokoh masyarakat Padangsidimpuan menilai, Polres harus segera mengumumkan hasil penyelidikan secara terbuka agar tidak menimbulkan spekulasi liar.
“Kalau benar terbukti, ini harus jadi peringatan keras agar nama ‘aktivis’ tidak lagi dijual untuk memeras,” ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Polres Padangsidimpuan belum mengeluarkan pernyataan resmi. Namun publik menaruh harapan besar agar kasus ini diusut tuntas.
Sebab, jika praktik seperti ini dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap gerakan antikorupsi bisa runtuh oleh ulah segelintir orang yang menodai idealisme perjuangan rakyat.
(P.Harahap)