Dilihat: 8x

Jakarta jurnalpolisi.id

Penangkapan pelaku penghasutan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya menuai perhatian publik. Meski demikian, langkah hukum tersebut dinilai sah secara prosedural dan tidak dapat dimaknai sebagai ancaman terhadap kebebasan sipil.

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Dr. Alpi Sahari, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa tindakan kepolisian sudah berada dalam koridor hukum positif Indonesia dan bertujuan melindungi kepentingan umum, termasuk anak sebagai korban.

“Penangkapan ini tidak bisa dianggap sebagai pengambinghitaman atau pelanggaran due process of law. Justru sebaliknya, tindakan ini merupakan bagian dari upaya melindungi kepentingan umum dan menjamin hak-hak anak sebagaimana diatur undang-undang,” ujar Dr. Alpi, yang pernah diminta Kejaksaan Agung RI sebagai ahli di Mahkamah Agung dalam kasus Peninjauan Kembali terpidana Jesicca Wongso.

Ia menjelaskan bahwa dalam sistem hukum pidana Indonesia, tindakan paksa seperti penangkapan hanya dapat dilakukan jika memenuhi unsur hukum pidana, mengacu pada asas nullum delictum nulla poena sine lege serta model pengendalian kejahatan (crime control model).

Dr. Alpi juga menekankan pentingnya memahami prinsip equitas sequitur legem dalam penegakan hukum. Menurutnya, penegakan hukum harus dipandang sebagai kontrol terhadap kejahatan, bukan ancaman bagi kebebasan sipil.

“Jika ada narasi yang menyebut ini sebagai kriminalisasi atau upaya membungkam kebebasan berpendapat, itu terlalu dini dan berpotensi menyesatkan publik. Justru narasi semacam itu bisa mendegradasi institusi penegak hukum,” tegasnya.

Dalam perkara ini, penyidik menerapkan sejumlah pasal, di antaranya Pasal 160 KUHP; Pasal 87 jo Pasal 76H jo Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak; serta Pasal 45A ayat (3) jo Pasal 28 ayat (3) UU ITE yang telah diperbarui melalui UU Nomor 1 Tahun 2024. Penerapan pasal-pasal tersebut menunjukkan adanya dugaan eendaadse samenloop maupun meerdadse samenloop, yakni perbedaan antara satu rangkaian perbuatan atau beberapa perbuatan terpisah.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa penghasutan (opruien) memiliki makna hukum spesifik dan tidak bisa disamakan dengan sekadar ajakan. “Penghasutan memiliki intensi kuat mendorong orang lain melakukan kejahatan. Tidak harus terjadi tindak pidana untuk menyatakan delik ini selesai. Namun, pasca putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009, harus ada bukti hubungan kausal antara perbuatan menghasut dan akibat yang timbul,” jelasnya.

Dengan demikian, menurut Dr. Alpi, tindakan kepolisian bukan sekadar penegakan hukum, tetapi juga upaya perlindungan masyarakat luas, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, dari dampak pidana yang ditimbulkan.
( Alfian )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *