Dilihat: 8x

Bandung, jurnalpolisi.id

Pekerjaan rehabilitasi dan renovasi prasarana sekolah di Kabupaten Bojonegoro kini terhenti di tengah jalan. Proyek yang semula digadang-gadang sebagai langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan kualitas fasilitas pendidikan justru berubah menjadi sengketa hukum bernilai miliaran rupiah.

PT. Syarif Maju Karya (SMK), sebagai pelaksana proyek, menyampaikan keberatan atas keputusan pemutusan kontrak oleh Satuan Kerja Pelaksanaan Prasarana Strategis Jawa Timur. Surat resmi pemutusan kontrak bernomor UM 0201/Gs19.1/315 tertanggal 7 Agustus 2025 itu menyebutkan, penyedia jasa gagal memenuhi target pekerjaan meski sudah diberikan tiga kali uji coba (Test Case) dan dua kali kesempatan tambahan (PK).

Namun, kontraktor menolak tuduhan tersebut. Melalui surat sanggahan bernomor 101/SMK/VIII/2025, PT. SMK menyatakan bahwa pemutusan kontrak sepihak tersebut tidak sah dan melanggar asas hukum perjanjian.

Klaim Kontraktor: Hambatan Force Majeure & Dana Macet

Kuasa hukum PT. SMK, Adv. Martin & Adv. Herin, menegaskan bahwa penyebab keterlambatan bukan kelalaian kontraktor, melainkan faktor eksternal yang bersifat force majeure.

“Pekerjaan harus disesuaikan karena ada permintaan resmi Dinas Pendidikan Bojonegoro untuk meninggikan elevasi bangunan akibat risiko banjir. Selain itu, ada sengketa lahan di salah satu sekolah yang membuat progres fisik tertunda. Lebih fatal lagi, pembayaran lima termin senilai Rp17,8 miliar tidak cair, padahal progres kami sudah mencapai 67,44% bahkan 75% menurut tim engineer,” ujar Martin.

Ia menambahkan, PT. SMK telah mendokumentasikan seluruh pekerjaan dan melaporkannya ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Namun, hingga Juli 2025, pembayaran tetap macet. “Karena itu, kami sedang mempersiapkan gugatan ke PN Surabaya agar ada kepastian hukum,” imbuhnya.

Versi Pemerintah: Progres Hanya 65,81%

Berbeda dengan klaim kontraktor, pihak pemerintah menyatakan progres pekerjaan masih rendah. Dalam surat pemutusan kontrak, PPK menyebutkan hingga batas akhir kontrak, pekerjaan hanya mencapai 65,81% dari rencana 100%.

Dengan alasan tersebut, pemutusan kontrak dinilai sah demi menjaga kualitas dan ketepatan waktu proyek.

Ancaman Daftar Hitam

Selain pemutusan kontrak, PT. SMK juga terancam masuk daftar hitam penyedia jasa konstruksi. Jika usulan ini disetujui, perusahaan tidak akan bisa mengikuti tender proyek pemerintah dalam kurun waktu tertentu.

Namun, pihak perusahaan menegaskan langkah itu harus ditangguhkan. “Kami meminta sanksi daftar hitam jangan diberlakukan sampai ada putusan hukum berkekuatan tetap. Prinsip keadilan dan kepastian hukum harus dijunjung tinggi,” ujar Herin.

Pendidikan Jadi Taruhan

Sengketa ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Bojonegoro. Sejumlah sekolah yang sedang direnovasi kini terbengkalai, sehingga proses belajar mengajar ikut terganggu.

“Anak-anak jangan sampai jadi korban. Pemerintah dan kontraktor harus mencari solusi agar pembangunan tetap berjalan,” kata seorang aktivis pendidikan lokal.

Menunggu Putusan Hukum

Kini, semua pihak menunggu perkembangan jalur hukum. Apakah gugatan PT. SMK akan diterima dan membatalkan pemutusan kontrak, atau justru pengadilan menguatkan keputusan pemerintah?

Yang jelas, Rp17,8 miliar dana proyek yang tertahan serta masa depan pembangunan sekolah di Bojonegoro masih menggantung di ujung ketidakpastian.(Is)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *