Dilihat: 6x

Blora. – jurnalpolisi.id

Bank Perkreditan Rakyat ( BPR ) Blora Artha telah mengalami kredit macet hingga mencapai 20.milyar rupiah lebih. Kemacetan tersebut diduga merupakan suatu kegagalan dari bukti kinerja yang bobrok , dengan tata kelola tidak menggunakan prinsip – prinsip manajemen yang benar.

Berbagai upaya telah dilakukan agar BPR Blora Artha dapat berjalan meskipun bertatih – tatih , meskipun suntikan dana dari berbagai sumber telah diberikan namun karena sudah terlalu jatuh terjerembab, tidak semudah untuk diberikan pertolongan .

Pengawasan yang lemah dan banyaknya aroma kepentingan banyak pihak menjadikan salah satu penyebab kehancuran tersebut terjadi.

Benang kusut kasus kredit macet yang melilit Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) BPR Bank Blora Artha kini memasuki babak baru.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Blora resmi menaikkan status kasus ini ke tahap penyidikan, membuka peluang penetapan tersangka dalam waktu dekat.

Kepala Seksi Intelijen Kejari Blora, Jatmiko, membenarkan perkembangan tersebut. Menurutnya, proses penyidikan kini tengah difokuskan pada pemeriksaan sejumlah saksi kunci dari internal bank pelat merah tersebut.

“Saat ini masih tahap pemeriksaan saksi-saksi. Tunggu saja perkembangannya,” ujar Jatmiko di Blora, Kamis.( 31/7/2025).

Sebelumnya, perkara ini sempat ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, namun kemudian dilimpahkan kembali ke Kejari Blora untuk ditindaklanjuti lebih mendalam.

“Memang awalnya Kejati langsung turun tangan. Tapi sekarang dilimpahkan balik ke kami,” tambah Jatmiko.

Pemerintah Kabupaten Blora tidak tinggal diam. Bupati Blora, Arief Rohman, mengungkapkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna merumuskan langkah-langkah pemulihan.

“Dengan OJK, kami sudah action plan. Bagaimana penyelesaian kredit macet tersebut, agar bisa kami susun dan kami selesaikan,” ujarnya.

Wakil Bupati Blora, Sri Setyorini, menegaskan pentingnya restrukturisasi menyeluruh dalam tubuh BPR Blora Artha guna mengembalikan kepercayaan publik yang sempat runtuh.

“Blora Artha harus kita perbaiki. Nanti akan kita support dengan kepengurusan baru yang akan segera dilantik,” tegasnya.

Menurut Wabup, audit tambahan tidak diperlukan karena evaluasi OJK telah menunjukkan bahwa kondisi keuangan BPR Blora Artha sudah berada dalam status minus, alias tidak sehat.

“OJK sudah menilai, hasilnya minus. Kita sempurnakan dan kita beri waktu,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya penagihan aktif terhadap para debitur nakal.

“Semua yang tidak bayar akan kita panggil. Konsekuensinya apa, pasti tahu sendiri,” kata Rini, tegas.

Dugaan penyimpangan dalam penyaluran kredit juga menyeret indikasi gratifikasi, yang disebut menjadi salah satu pemicu menggunungnya angka kredit macet. Dalam proses klarifikasi lanjutan yang berlangsung pada 31 Oktober hingga 1 November 2024, sedikitnya enam pejabat internal Bank Blora Artha telah diperiksa.

Mereka yang diperiksa antara lain Direktur Utama, Dewan Pengawas, serta sejumlah kepala bagian strategis seperti Kabag Analisa dan Kredit, Kabag Pemasaran, dan Kasubag Support Kredit.

Kredit bermasalah ini tak hanya melibatkan debitur dari wilayah Blora, namun juga meluas ke luar daerah, dengan total nilai yang mencapai puluhan miliar rupiah.

Situasi ini semakin memperkuat dugaan bahwa pengelolaan bank daerah tersebut tidak berjalan sesuai prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik.

Tragis, di tengah gonjang ganjing kasus kredit macet dan belum selesainya perkara program Blora Wirausaha (BWU), Bagian Perekonomian Setda Blora mencatat bahwa deviden saham Pemkab dari sejumlah BUMD termasuk BPR Blora Artha yang mencapai angka fantastis, yakni Rp 80 miliar per tahun.

Kontras antara nilai deviden yang dilaporkan dan kondisi keuangan internal BPR Blora Artha yang dinyatakan “minus” oleh OJK, menjadi pertanyaan besar publik terkait transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme pelaporan keuangan antar lembaga.

Kasus ini bukan sekadar persoalan perbankan. Ini adalah krisis kepercayaan publik terhadap tata kelola BUMD dan sistem pengawasan daerah.

Kejari Blora dalam melakukan penyidikan diharapkan tidak berhenti pada gejala permukaan, namun menyentuh akar permasalahan dari praktik manajemen, dugaan konflik kepentingan, hingga kemungkinan penyimpangan hukum.

Apabila kasus ini tidak diselesaikan secara tuntas, Blora bisa kehilangan momentum dalam membenahi fondasi ekonominya sendiri. ( Djoks)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *