Dilihat: 7x

Surabaya , jurnalpolisi.id

12 Juni 2025 — Perseteruan hukum antara Muhammad Ali dan Fransiska melawan keluarga besar Direktur Utama PT Conblock, Ibu Justini Hudaya, terus bergulir panas dan penuh intrik. Perkara ini tak hanya menyangkut gugatan perdata dan pidana, tetapi juga dugaan rekayasa medis, intervensi oknum aparat, serta mandeknya proses hukum selama lebih dari lima tahun.

Pada hari ini, persidangan yang digelar hanya mengagendakan penjadwalan sidang-sidang berikutnya. Namun di balik agenda formal tersebut, tim kuasa hukum Muhammad Ali menyampaikan berbagai perkembangan mengejutkan dalam kasus ini.

Kuasa Hukum Muhammad Ali, Andidarti saat ini tengah mengajukan gugatan perdata di PN Surabaya atas dasar kepemilikan senjata api (senpi) yang ia gunakan untuk keperluan bela diri. Pihak lawan, yakni Justini Hudaya, sebelumnya telah melaporkan Ali ke Polrestabes Surabaya atas dugaan penipuan dan penggelapan senjata.

“Kami membuktikan bahwa klien kami memiliki dasar hukum kuat—buku kepemilikan dan izin resmi. Tuduhan itu tidak berdasar dan justru kami menuntut balik atas pencemaran nama baik,” ujar Andidarti kuasa hukum Ali

Tak berhenti di situ,Andidarti kuasa hukum Ali juga melaporkan Direktur Utama PT Conblock, Justini Hudaya, ke Polrestabes Sidoarjo atas dugaan fitnah dan pencemaran nama baik. Sayangnya, dua kali dipanggil penyidik, Justini tidak pernah hadir.

“Ini negara hukum. Presiden saja datang saat dipanggil, mengapa seorang Direktur merasa bisa di atas hukum?” tegas tim kuasa hukum Ali,Andidarti menyerukan ketegasan dari aparat kepolisian.

Adik kandung Justini, Haryanti Hudaya, telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan dan penggelapan sebesar Rp2,8 miliar terhadap Fransiska, namun selama lima tahun penyidikan mandek. Ironisnya, meski berstatus tersangka, Haryanti belum pernah diperiksa.

Yang lebih aneh, dua dokter dari RSUD Dr. Soetomo dan dari National Hospital telah diperiksa untuk membuktikan Haryanti “gila”, meski secara prosedural belum ada dasar hukum yang sah untuk permintaan keterangan medis tersebut.

“Kalau memang gila, periksa dong di rumah sakit jiwa secara sah! Ini bukan negara yang bisa dibohongi oleh surat keterangan abal-abal,” kata Andidarti Selaku kuasa hukum.

Dalam keterangan mengejutkan, Muhammad Ali menyebut adanya dugaan gratifikasi terhadap penyidik yang menangani kasus ini. Ali mengklaim pernah diminta menyerahkan uang sebesar Rp15 juta saat penyidik datang ke Surabaya.

“Waktu itu saya hanya disuruh titipkan uang di hotel tempat penyidik menginap. Saya baru sadar belakangan ini bahwa itu bisa terkait kasus yang sedang ditangani,” ungkapnya.

Mediasi yang sempat diusulkan pun berujung gagal. Syarat dari pihak Justini dianggap tidak masuk akal: meminta semua berita di media dihapus, dan meminta Ali serta anak-anaknya datang ke rumah pribadi untuk meminta maaf.

Yang lebih memprihatinkan, dalam mediasi di kediaman Justini, pihak lawan sempat membawa 7 orang anggota Marinir. “Ini sidang perdata di pengadilan, bukan arena intimidasi. Untuk apa membawa militer? Negara sudah hadir melalui institusi hukum, tidak perlu aparat tambahan,” tegas kuasa hukum.

Meski kalah di tingkat PN dan banding, gugatan perdata Rp2,8 miliar yang diajukan Fransiska akhirnya dimenangkan oleh Mahkamah Agung. MA memerintahkan Haryanti dan suaminya, Subandi, untuk mengembalikan uang kepada korban.

Saat ini, tim hukum hanya berharap satu: keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.

“Negara ini tidak boleh tunduk pada orang-orang yang menganggap hukum sebagai barang dagangan. Kami akan terus memperjuangkan agar hukum menjadi panglima,” tutup kuasa hukum dengan penuh semangat.(Nova)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *