Tapanuli Selatan, jurnalpolisi.id
Desa Aek Natas di Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, tampak tenteram dari kejauhan. Barisan pohon karet dan semak belukar seolah menjadi selimut yang menyembunyikan aktivitas di baliknya. Namun kenyataan di lapangan berbicara lain.
Suara deru mesin gelundung dan kendaraan bermotor terdengar lirih namun konsisten. Di balik keteduhan lanskap perdesaan ini, tambang emas ilegal beroperasi nyaris tanpa hambatan.
Tim investigasi menemukan sedikitnya delapan titik tambang aktif yang tersebar di wilayah yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Kebun Pak Pasaribu, Adian Alim, dan Tenda Biru.
Tak satu pun lokasi tersebut dilengkapi papan informasi usaha atau tanda-tanda perizinan resmi. Tidak terlihat pengawasan dari instansi pemerintah, maupun tindakan dari aparat penegak hukum.
“Warga tahu, penambang tahu, bahkan aparat tahu,” ujar salah seorang warga yang meminta namanya disamarkan. “Tapi tak ada yang datang untuk menghentikan.”
Dari Galian ke Gelundung: Rantai Emas Tanpa Izin
Seorang narasumber berinisial N. Jai, yang pernah terlibat langsung sebagai penambang, menjelaskan bahwa kegiatan tambang berlangsung setiap hari dengan melibatkan warga lokal dan sesekali pekerja dari luar daerah.
Menurutnya, metode yang digunakan bersifat sederhana tanah digali, dimasukkan ke dalam karung, kemudian diangkut ke Panyabungan untuk diproses menggunakan merkuri zat kimia berbahaya yang telah dilarang penggunaannya dalam pertambangan rakyat.
“Setelah diproses, hasilnya langsung dijual,” jelas N. Jai. “Sebagian besar ditampung oleh tengkulak yang datang langsung ke lokasi.”
Dalam sejumlah keterangan warga, muncul satu nama yang disebut secara konsisten: Zebua. Ia dikenal luas sebagai “juru bicara lapangan” para penambang.
Ketika wartawan mencoba mengonfirmasi keberadaannya, seorang pekerja menjawab singkat, “Kalau Bang Zebua tidak di sini, berarti sedang mengurus ‘izin damai’.”
“Izin Damai”: Sebuah Istilah untuk Pembiaran
Istilah “izin damai” telah menjadi kosa kata umum dalam praktik tambang ilegal di berbagai wilayah Sumatera Utara.
Bukan dokumen resmi, melainkan istilah yang merujuk pada dugaan pemberian setoran informal kepada oknum aparat.
Dalam sejumlah kasus sebelumnya, pola seperti ini menjadi penghambat utama dalam upaya penegakan hukum.
Upaya konfirmasi kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tapanuli Selatan tidak mendapatkan tanggapan resmi.
Sementara pihak kepolisian menolak memberikan keterangan dan hanya menyarankan agar permintaan wawancara diajukan melalui prosedur formal.
Kerusakan Ekologis yang Tak Terkendali
Citra udara yang direkam melalui drone menunjukkan puluhan lubang tambang terbuka yang tersebar tanpa pola reklamasi.
Tidak ditemukan sistem drainase atau perlindungan terhadap limpasan air. Saat hujan turun, air bercampur lumpur dan limbah tambang mengalir bebas ke anak Sungai Batang Salai.
“Dulu air sungai bisa langsung diminum,” ujar Rina, warga yang tinggal di hilir sungai. “Sekarang, terkena kulit saja bisa menyebabkan gatal.”
Ia memperlihatkan jerigen bekas penampung air sungai yang kini hanya digunakan untuk menadah air hujan.
Direktur Bangsa Institute Lingkungan Hidup, A.J. Siagian, menyebut aktivitas ini sebagai bentuk kejahatan ekologis. “Penggunaan merkuri, pengerukan tanpa izin, serta pembiaran oleh aparat semua unsur pelanggaran berat terpenuhi,” tegasnya. “
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka pemerintah daerah dan aparat penegak hukum turut bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi.”
Ketiadaan Negara dan Ketimpangan Penegakan Hukum
Tambang emas ilegal di Aek Natas merupakan satu dari banyak praktik serupa yang berlangsung terbuka di berbagai wilayah Indonesia.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara tegas melarang aktivitas pertambangan tanpa izin resmi. Namun, dalam praktiknya, hukum seolah hanya tajam ke bawah.
Di Aek Natas, negara bukan hanya lamban dalam bertindak. Ia absen. Setiap lubang tambang yang digali menjadi simbol bahwa hukum bisa dikubur dalam-dalam jika tak ada keberanian untuk menggali kembali kebenaran.(P.Harahap)