Banyumas – jurnalpolisi.id
Operasional sebuah pabrik bata ringan (hebel) milik PT Inovasi Nusantara Sentosa (INS) di Kelurahan Losari, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, kini menuai sorotan tajam. Pabrik yang baru diresmikan pada 15 Juli 2025 itu diduga kuat belum mengantongi izin lingkungan yang lengkap dan menimbulkan polusi udara yang meresahkan warga sekitar.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya menuturkan, sejak pabrik mulai beroperasi, asap dan debu yang keluar dari area produksi kerap menimbulkan keresahan.
“Peresmiannya saya ingat tanggal 15 Juli. Tapi sejak awal, kami sudah curiga, karena dampaknya terasa ke udara dan lingkungan sekitar,” ungkapnya, Jumat (29/8/2025).
DLH Banyumas: Kewenangan Ada di Pemerintah Pusat
Konfirmasi media kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyumas, Widodo Sugiri, ST, mengungkap fakta mengejutkan. Lewat pesan singkat WhatsApp, ia menyampaikan bahwa pabrik hebel tersebut merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA).
“Menurut informasi yang saya terima, perusahaan hebel di Rawalo itu PMA. Untuk persetujuan lingkungan bukan kewenangan DLH Kabupaten, tapi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Pusat,” jelas Sugiri.
Pernyataan ini memunculkan pertanyaan serius: apakah PT INS benar-benar sudah memenuhi persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau sekadar UKL-UPL?. Padahal, dokumen ini merupakan syarat wajib setiap industri agar operasionalnya tidak merusak lingkungan serta membahayakan kesehatan masyarakat.
Selain itu, kapasitas produksi, jumlah karyawan, dan pengelolaan limbah juga menjadi tanggung jawab perusahaan untuk dilaporkan kepada pemerintah.
Manajemen Bungkam
Saat awak media mencoba meminta klarifikasi langsung ke pihak manajemen, salah seorang petugas keamanan di lokasi menyatakan bahwa tidak ada staf kantor pada akhir pekan.
“Orang kantor tidak ada mas, sudah pulang kampung. Paling nanti hari Senin,” ujarnya singkat.
Ancaman Polusi dan Afiliasi dengan Pabrik Bermasalah
Selain memproduksi bata ringan, PT INS juga tercatat memiliki usaha di bidang pengelolaan limbah B3, remediasi, dan daur ulang. Kombinasi usaha tersebut berpotensi menimbulkan sensitivitas tinggi terhadap persoalan lingkungan, K3, hingga keamanan bahan kimia dan energi.
Dampak signifikan dari aktivitas industri semacam ini bukan hanya mempercepat pemanasan global, tapi juga berisiko memicu gangguan kesehatan serius bagi warga sekitar.
Kasus ini mengingatkan pada peristiwa lima tahun lalu, saat PT Acon Indonesia di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dikecam keras karena menimbulkan polusi udara, kebisingan, hingga memicu aksi demonstrasi warga berulang kali.
Penelusuran media menemukan adanya keterkaitan kuat antara PT Acon Indonesia dengan PT INS, baik dari sisi pemilik saham mayoritas maupun jajaran direksi. Bahkan, struktur kepemilikan perusahaan menunjukkan adanya afiliasi dengan pihak asing, khususnya Tiongkok dan/atau WNI keturunan Tiongkok.
Desakan Penegakan Hukum
Menyikapi kondisi ini, para pemerhati lingkungan mendesak pemerintah pusat maupun daerah agar tidak tutup mata. Regulasi terkait emisi polutan udara dan pengelolaan limbah harus ditegakkan, disertai pengawasan ketat terhadap perusahaan-perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan.
Kehadiran industri seharusnya membawa manfaat ekonomi, bukan menjadi sumber ancaman kesehatan bagi masyarakat. Bila dugaan pelanggaran izin dan pencemaran terbukti, maka PT Inovasi Nusantara Sentosa wajib mendapat sanksi tegas hingga pencabutan izin operasionalnya. (tim)