Dilihat: 4x

Padangsidimpuan , jurnalpolisi.id

Sabtu malam , 16 Agustus 2025, jarum jam nyaris menyentuh pukul delapan ketika teriakan panik memecah kesunyian di Kelurahan Wek III, Kota Padangsidimpuan.

Api tiba-tiba menyambar tangga kayu menuju lantai dua rumah orang tua wartawan Mahmud Nasution.

Di dapur, ibu dan kakak Mahmud tengah menyiapkan bumbu masakan untuk jualan esok hari.

Di ruang tamu, seorang bocah berusia empat tahun setengah anak kakak Mahmud tampak asyik menonton televisi.

“Kakak saya melihat api menyala dari arah tangga kamar atas saat hendak memberi makan anaknya.

Seketika ia menjerit memanggil ibu, lalu mereka berdua berusaha memadamkan api dengan air,” kata Mahmud, menceritakan ulang kejadian yang hampir merenggut nyawa keluarganya.

Mahmud sendiri sedang berada di Sipirok, sekitar satu jam perjalanan dari rumah. Kabar kebakaran baru ia terima setelah api berhasil dijinakkan.

“Setelah padam, mama saya langsung mengabari, dan saya segera pulang ke Padangsidimpuan,” ujarnya.

Api memang padam, tapi bara ketakutan tersisa. Ini bukan insiden tanpa jejak. Mahmud mengaku sebelumnya pernah menerima serangkaian intimidasi terkait pemberitaan yang ia tulis.

Ia dan keluarganya pernah dijatuhi sanksi sosial oleh pihak kelurahan serta tokoh adat dan agama di Wek III, sebelum akhirnya dimediasi Kapolres saat itu.

Ia juga mengaku pernah diancam dibunuh oleh keluarga seorang oknum polisi terkait berita mengenai Kasi Keuangan Polres Padangsidimpuan.

Meski demikian, Mahmud memilih menyerahkan penanganan kasus ini sepenuhnya kepada kepolisian. “Harapan saya, Kapolres Padangsidimpuan dapat menangkap pelaku sesegera mungkin, agar tidak terjadi lagi kasus serupa seperti peristiwa pembakaran rumah wartawan di Karo (almarhum Rico Sempurna Pasaribu),” ujarnya.

Kini, ibu dan kakak Mahmud selamat tanpa luka fisik, meski syok belum sepenuhnya hilang. Polisi telah menerima laporan dan memulai penyelidikan.

Sementara itu, di rumah bercat pucat di Wek III itu, bau asap dan arang yang menghitam di tangga masih menjadi pengingat bahwa menjadi wartawan di kota kecil bisa berarti hidup di bawah ancaman.(P.Harahap)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *