Labusel, Sumut — jurnalpolisi.id
Ribuan ikan ditemukan mati di aliran sungai yang tidak jauh dari pabrik kelapa sawit milik PT Gunung Selamat Lestari (GSL). Dugaan kuat mengarah pada pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah cair dari pabrik tersebut, yang dinilai mencemari Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan konservasi PT Sifep/Tolan III Indonesia.
Namun ironisnya, meski hasil uji laboratorium dari Dinas Lingkungan Hidup dan Perikanan (DLHP) Kabupaten Labuhanbatu Selatan menunjukkan pencemaran berat, sanksi yang dijatuhkan kepada perusahaan hanya bersifat administratif.
Limbah Melebihi Batas Baku Mutu
Dalam laporan resmi yang dirilis DLHP pada 30 Juni 2025, sejumlah parameter limbah cair PT GSL dinyatakan jauh melebihi ambang batas baku mutu:
- BOD (Biochemical Oxygen Demand): 8,05 mg/L (baku mutu: 3 mg/L)
- COD (Chemical Oxygen Demand): 62,096 mg/L (baku mutu: 25 mg/L)
- Fosfat (PO₄): 4,345 mg/L (baku mutu: 0,2 mg/L)
- Amonia (NH₃-N): 2,782 mg/L (baku mutu: 0,2 mg/L)
Kepala DLHP Labusel, Saparuddin, menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji tersebut, pihaknya menjatuhkan sanksi administratif terhadap PT GSL.
“Karena hasil uji menunjukkan limbah melebihi ambang batas IPLC, maka kami memberikan sanksi administratif kepada PMKS PT GSL,” jelasnya.
GEMALAB: Jika DLHP Bungkam, Kami Bergerak!
Langkah DLHP ini memicu reaksi keras dari Gerakan Mahasiswa Labuhanbatu Selatan (GEMALAB). Mereka menilai DLHP tidak berpihak pada lingkungan dan rakyat.
“Ini bukan lagi dugaan—ini sudah terbukti melalui uji laboratorium resmi. Mengapa hanya sanksi administratif? Jika DLHP tidak berani, kami yang akan bertindak!” tegas Risky Hasibuan, Ketua GEMALAB.
Sekretaris Jenderal GEMALAB, Arifin Rambe, menambahkan bahwa pencemaran tersebut telah menyebabkan kematian massal ikan dan mengancam kesehatan masyarakat yang bergantung pada DAS sebagai sumber air bersih, apalagi di musim kemarau.
“Kami tidak akan diam. Kami siap galang kekuatan rakyat dan membawa kasus ini ke jalur hukum,” tegas Arifin.
Media dan Aktivis Juga Angkat Bicara
Kabiro Media Kabar Investigasi Labusel, Munawir Hasibuan, turut mengecam sikap pasif DLHP yang dianggap berulang kali gagal menindak tegas pelanggaran oleh PT GSL.
“Perusahaan ini sudah berkali-kali mencemari sungai. Tapi DLHP cuma berani kasih sanksi ringan. Jangan-jangan DLH sudah ‘diisi token’ oleh perusahaan,” sindir Munawir.
Sanksi Pidana Seharusnya Diberlakukan
Mengacu pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelanggaran seperti ini seharusnya bisa dijerat pidana, bukan sekadar administratif:
- Pasal 104: Pembuangan limbah tanpa izin dapat dipidana hingga 3 tahun penjara dan denda hingga Rp3 miliar.
- Pasal 98: Jika menyebabkan kerusakan lingkungan atau kematian biota, dapat dihukum 3–10 tahun penjara dan denda Rp3–10 miliar.
Empat Tuntutan GEMALAB
GEMALAB menyampaikan empat tuntutan tegas kepada Pemerintah Daerah dan aparat penegak hukum:
- Pencabutan izin lingkungan dan penghentian operasional PMKS PT GSL.
- Proses hukum pidana terhadap pimpinan perusahaan.
- Evaluasi kinerja internal DLHP Labusel.
- Pelibatan masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan pencemaran lingkungan.
Kini, sorotan publik mengarah tajam ke DLHP Labusel dan aparat penegak hukum. Masyarakat menanti: Akankah pemerintah bertindak tegas, atau membiarkan perusak lingkungan terus bebas beroperasi?
(MS007)