Dilihat: 7x

Cilacap, jurnalpolisi.id

Selasa (1/6/2025) Ruwati, seorang warga Desa Sarwadadi, Kecamatan Kawunganten, saat ini tengah menghadapi cobaan berat. Sudah tiga bulan ia menderita sesak napas dan batuk-batuk parah, yang telah melumpuhkan kemampuannya untuk mencari nafkah sebagai tukang pijat keliling, satu-satunya tulang punggung ekonomi keluarganya. Sementara itu, sang suami yang hanya seorang buruh serabutan, tak mampu menanggung beban biaya hidup dan pengobatan yang terus membengkak.
Kondisi ekonomi keluarga Ruwati semakin terhimpit setelah rumah mereka di Desa Sarwadadi dibongkar karena tak layak huni, memaksa mereka mengontrak di Desa Kalijeruk. Tanpa jaminan kesehatan seperti BPJS (baik mandiri, PBI, maupun JKN), Ruwati terpaksa menjalani pengobatan umum di Puskesmas Kawunganten dengan biaya yang sangat membebani.

Perjuangan Tanpa Henti Mencari Akses Kesehatan
Kisah Ruwati menarik perhatian Sastriwidianata, Kepala Perwakilan Nuansa Realita News Jawa Tengah, setelah dihubungi oleh seorang teman di Jakarta. Ia diminta mendampingi Muji, anak Ruwati, untuk mengurus administrasi agar Ruwati bisa mendapatkan penanganan medis tanpa kendala biaya. “Pasien ini kan orang tua siswa Muji, beliau tidak mampu, rumah pun mengontrak, rumahnya sudah ambruk atau dibongkar di wilayah Sarwadadi. Bantu dulu untuk mintakan surat keterangan tidak mampu di desa, Bang. Kalau bisa itu minta didaftar di BPJS JKN, agar bisa melanjutkan pengobatan selanjutnya, kalau umum jelas dia tidak bakal mampu,” jelas Feny, rekan Sastriwidianata.

Merespons kondisi ini, tim media segera mendatangi Ruwati di Puskesmas Kawunganten pada Jumat (04/07/2025). Kondisi Ruwati sangat memprihatinkan; ia terlihat lemah, kurus, dan terus-menerus batuk. Setelah berdiskusi dengan keluarga, awak media mencoba berkonsultasi dengan Kepala Puskesmas untuk memohon kemudahan biaya pengobatan.
Tim media juga berupaya memfasilitasi pendaftaran BPJS dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) di Pemerintah Desa Sarwadadi. Namun, kekecewaan harus ditelan oleh keluarga Ruwati dan tim media. Ruwati tidak dapat dimasukkan dalam anggaran APBD desa karena kuota 27 orang sudah terpenuhi. Staf desa menjelaskan bahwa pendaftaran melalui PBI memang dimungkinkan, namun membutuhkan jangka waktu hingga satu tahun.

Beban Biaya yang Tak Terbendung dan Keterbatasan Bantuan
Meskipun dokter menyatakan kondisi Ruwati membaik, keluarga merasa ibu mereka belum sepenuhnya pulih. Oleh karena itu, Ruwati berencana untuk dirujuk ke RSUD setelah dibawa pulang sementara dari puskesmas.

Total biaya pengobatan dan rawat inap Ruwati di puskesmas selama beberapa hari telah mencapai Rp 1.450.000. Dengan rekomendasi potongan berdasarkan SKTM, pada Kamis, 3 Juli 2025, keluarga diminta membayar Rp 950.000. Namun, keesokan harinya, setelah menginap satu malam lagi, tagihan membengkak menjadi Rp 1.315.000.

Muji, anak Ruwati, hanya memiliki uang Rp 700.000, termasuk bantuan Rp 400.000 dari Kepala Desa “Amin”. Awak media kemudian berupaya agar pihak kasir dapat menerima pembayaran Rp 700.000 terlebih dahulu dengan jaminan KTP awak media. Setelah mediasi dengan bagian pengurus ruangan dan perawatan, pihak kasir pun menyetujuinya.

Desakan untuk Perhatian Pemerintah
Saat ini, awak media masih terus berupaya mengurus persyaratan agar Ruwati dapat memperoleh kartu BPJS dari pemerintah untuk melanjutkan pengobatannya. Hingga kini, belum ada bantuan berarti dari Dinas Kesehatan atau pemerintah daerah. Awak media memohon agar Dinas Kesehatan dan pemerintah daerah dapat memberikan perhatian lebih kepada masyarakat kecil yang membutuhkan uluran tangan seperti Ruwati.

Bagaimana pemerintah daerah dapat memastikan akses kesehatan yang adil bagi seluruh warganya, terutama bagi mereka yang paling rentan seperti Ruwati?
(Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *