Home / News / Pernyataan DK PWI Kalteng Tuai Kontroversi, AWPI Desak Permintaan Maaf dan Klarifikasi Publik

Pernyataan DK PWI Kalteng Tuai Kontroversi, AWPI Desak Permintaan Maaf dan Klarifikasi Publik

Palangka Raya – jurnaltimes.com

Pernyataan kontroversial yang disampaikan oleh oknum anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) Kalimantan Tengah, Sadogori Henoch Binti, menuai kecaman dari sejumlah wartawan dan kalangan perusahaan pers di Kalimantan Tengah.

Dalam pernyataan yang disebarluaskan melalui beberapa media sosial, Sadogori menyebut bahwa media yang belum terverifikasi dan wartawan yang belum memiliki Sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) tidak layak menjalin kerja sama publikasi dengan pemerintah daerah.

Pernyataan tersebut dinilai keliru dan tidak mencerminkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) seorang anggota Dewan Kehormatan PWI. Banyak pihak menilai bahwa sikap tersebut justru dapat menciptakan disinformasi dan diskriminasi terhadap media yang sah secara hukum, namun belum terverifikasi Dewan Pers.

Ketua Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia (AWPI) Kalteng, Hadriansyah, mendesak agar Sadogori Henoch Binti segera menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada seluruh organisasi profesi dan asosiasi perusahaan pers di Kalimantan Tengah.

“Yang berwenang menyampaikan ketentuan kerja sama media dengan pemerintah adalah Dewan Pers dan asosiasi perusahaan pers, bukan oknum perorangan yang mengatasnamakan organisasi profesi,” tegas Hadriansyah.

Ia juga menambahkan bahwa aturan yang dijadikan dasar oleh Sadogori bersifat imbauan, bukan ketentuan baku, sehingga tidak dapat dijadikan acuan yang mengikat bagi pemerintah daerah dalam menentukan kerja sama publikasi.

Menurut Hadriansyah, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 15 Ayat 2 poin (g), menyebut bahwa salah satu tugas Dewan Pers adalah mendata perusahaan pers, bukan mewajibkan verifikasi sebagai syarat kerja sama.

Dirinya juga mengimbau agar pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota di Kalimantan Tengah tidak terpengaruh oleh informasi menyesatkan yang berasal dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Ia menyoroti adanya dugaan upaya monopoli anggaran kerja sama media oleh oknum tertentu yang menggunakan organisasi profesi sebagai tameng, dan memainkan strategi “belah bambu” untuk memecah belah insan pers serta menciptakan kegaduhan.

“Pemerintah harus bijak dan netral dalam menyikapi persoalan ini serta tidak mudah terhasut oleh opini yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” tambahnya.

Dewan Pers Tegaskan: Tidak Ada Kewajiban Verifikasi untuk Media dalam Kerja Sama dengan Pemerintah

Sikap resmi Dewan Pers juga mempertegas bahwa tidak ada regulasi yang mewajibkan media harus terverifikasi untuk bisa menjalin kerja sama dengan pemerintah. Dalam pernyataan tertanggal 5 Mei 2025, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menjelaskan bahwa verifikasi adalah proses sukarela yang bertujuan meningkatkan profesionalisme media dan memberikan perlindungan hukum — bukan sebagai syarat administratif.

Dewan Pers tidak pernah menyatakan bahwa hanya media yang terverifikasi yang dapat bermitra dengan pemerintah. Jika ada tafsir seperti itu, maka itu adalah miskonsepsi yang harus diluruskan,” tegas Ninik.

Lebih lanjut, Dewan Pers menegaskan bahwa kebijakan kerja sama adalah kewenangan pemerintah, bukan lembaga pers. Standar evaluasi yang digunakan oleh pemerintah hendaknya tidak menjadi alat diskriminatif atau pembatasan terhadap media yang sah secara hukum.

Dewan Pers juga mengingatkan bahwa yang terpenting adalah kepatuhan media terhadap Kode Etik Jurnalistik dan penghormatan terhadap hak publik untuk memperoleh informasi, bukan semata-mata status verifikasi.

Liputan: Jurnal Times / SG


Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *