Dilihat: 6x

Padangsidimpuan , jurnalpolisi.id

Kepala SMA Negeri 1 Padangsidimpuan, Nursyawiyah Hutahuruk, menolak menyebut pungutan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sebesar Rp70 ribu per bulan sebagai pungutan liar alias pungli. Ia menyatakan, pungutan itu legal dan berdasar aturan.

“Itu bukan pungli, karena ada regulasi yang membenarkan pungutan SPP terhadap siswa,” ujarnya melalui pesan WhatsApp, Rabu, 21 Mei 2025. Namun, Nursyawiyah tidak merinci regulasi yang ia maksud.

Ia menambahkan, pungutan tersebut telah melalui mekanisme musyawarah bersama orangtua siswa. “Ada undangan rapatnya, daftar hadir, notulen, dan dokumentasi.

Kami para kepala sekolah juga sudah gelar perkara di Polres dan menjelaskan kronologisnya,” kata Nursyawiyah.

Namun, keterangan itu dibantah oleh sejumlah orangtua siswa. Lima orangtua yang diwawancarai mengaku bahwa anak mereka memang diwajibkan membayar Rp70 ribu setiap bulan.

“Katanya untuk membayar gaji guru honor komite,” ujar salah satu wali murid. Bila tidak membayar, siswa akan dihubungi langsung oleh wali kelas atau pihak sekolah.

Persoalan ini mengemuka setelah Gabungan Aliansi Pergerakan Tapanuli (Gaperta) melaporkan dugaan pungutan liar di sejumlah SMA dan SMK Negeri di Padangsidimpuan ke Polres. Nursyawiyah membenarkan adanya gelar perkara, namun enggan menyebut siapa saja yang hadir.

Polisi membenarkan telah menangani laporan Gaperta. “Kami telah memverifikasi pengaduan kepada pengurus Gaperta,” kata Kasi Humas Polres Padangsidimpuan, AKP Kenborn Sinaga.

Menurutnya, pihak kepolisian juga telah berkoordinasi dengan Inspektorat Provinsi Sumatera Utara, sebab seluruh SMA dan SMK negeri berada di bawah kewenangan provinsi.

Namun hasil awal cukup mengejutkan. “Inspektorat menyatakan belum pernah melakukan pemeriksaan terhadap SMA dan SMK Negeri di Padangsidimpuan,” ujar Kenborn.

Atas dasar itu, Kapolres AKBP Wira Prayatna telah bersurat ke Inspektorat Provinsi agar segera melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh SMA dan SMK Negeri di kota itu.

Sorotan juga datang dari kalangan mahasiswa. Salam Siregar, aktivis mahasiswa dari Rakyat Awasi Tapanuli Bagian Selatan, menyebut praktik pungutan tersebut sebagai pelanggaran hak atas pendidikan yang dijamin konstitusi.

“SPP yang diwajibkan dan ditagih, bahkan sampai ada tekanan ke siswa yang menunggak, itu memenuhi unsur pungli,” kata Salam kepada Awak Media, Jumat, 24 Mei 2025. “Ini tidak bisa ditutupi hanya karena ada notulen rapat.”

Menurut Salam, ada beberapa regulasi yang secara tegas melarang pungutan rutin di sekolah negeri, di antaranya

Permendikbud No. 75 Tahun 2016 yang menegaskan bahwa komite sekolah boleh menghimpun dana dari masyarakat, tapi sifatnya harus sukarela, tidak mengikat dan tidak menjadi syarat layanan pendidikan

Surat Edaran Mendikbud No. 3 Tahun 2017 yang melarang sekolah negeri memungut uang SPP secara rutin kepada orangtua siswa

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 34, yang menyebut bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah.

“Kalau alasannya untuk menggaji guru honorer, itu seharusnya ditanggung Dinas Pendidikan, bukan dibebankan ke siswa,” ujar Salam.

Ia mendorong agar Inspektorat melakukan audit terbuka dan hasilnya diumumkan ke publik. “Kalau terbukti melanggar, kepala sekolah harus bertanggung jawab.”

Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Padangsidimpuan masih bersikukuh bahwa tidak ada pelanggaran dalam pungutan SPP.

Ia hanya menyatakan kekecewaannya terhadap pemberitaan yang menurutnya menyudutkan pihak sekolah, namun hingga kini belum juga memaparkan dasar hukum yang sah atas pungutan tersebut.(P.Harahap)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *