Dilihat: 4x

Jakarta – jurnalpolisi.id

Jumat, 9 Mei 2025 Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan merupakan upaya strategis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Undang-undang ini hadir untuk memberikan dasar hukum yang kuat dalam menindak segala bentuk perusakan hutan, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Tujuannya adalah menciptakan efek jera bagi para pelaku dan memastikan kelestarian hutan sebagai sumber daya vital bangsa.

Pada Selasa, 6 Mei 2025, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pleno dengan Nomor Perkara 147/PUU-XXII/2024, yang memperdebatkan status ribuan hektare lahan yang berada di kawasan hutan, namun telah diterbitkan sertifikat atas nama perseorangan maupun badan usaha. Persoalan ini memunculkan konflik hukum antara klaim kepemilikan lahan dan status kawasan hutan yang dilindungi.

Dwi Januanto Nugroho, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, menegaskan bahwa berbagai bentuk sertifikat kepemilikan, seperti:

  • Sertifikat Hak Milik (SHM)
  • Hak Guna Usaha (HGU)
    tidak serta-merta dapat dianggap sah jika bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, khususnya dalam hal penetapan dan fungsi kawasan hutan.

Penerapan Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Cipta Kerja, terbukti memberikan dampak positif. Selain memperkuat penegakan hukum, regulasi ini juga berkontribusi pada pemasukan negara, antara lain melalui:

  • Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
  • Dana Reboisasi (DR)
  • Denda Administratif

Langkah-langkah ini menjadi bukti nyata bahwa pendekatan hukum yang tegas dan terukur mampu mengurangi praktik perusakan hutan serta mengoptimalkan pemanfaatan hasil hutan secara berkelanjutan.

Disusun oleh: Yusdianto, S.P.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *