Padangsidimpuan , jurnalpolisi.id
Warga Kecamatan Batunadua mengaku sangat kecewa atas lambannya penanganan kerusakan Bendungan Irigasi Ujung Gurap, yang selama ini mengairi lahan pertanian di delapan desa dan satu kelurahan.
Kerusakan bendungan tersebut telah terjadi sejak Maret 2024, namun hingga kini proyek perbaikannya diduga masih terbengkalai tanpa kejelasan.
Pada 11 Agustus 2024 lalu, ratusan petani yang terdampak dari seluruh wilayah Kecamatan Batunadua menggelar unjuk rasa di depan Kantor Wali Kota Padangsidimpuan.
Dalam aksi tersebut, mereka menuntut kejelasan dan percepatan pembangunan bendungan yang menjadi sumber pengairan utama bagi lahan pertanian mereka.
Wali Kota Padangsidimpuan saat ini, Letnan Dalimunthe yang kala itu menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kota sempat berjanji kepada massa aksi bahwa pembangunan Bendungan Irigasi Ujung Gurap akan diselesaikan sebelum akhir tahun 2024.
Namun janji itu tak kunjung ditepati. Kondisi bendungan masih rusak dan tak berfungsi, membuat petani mengalami gagal tanam bahkan gagal panen.
Pada 10 Januari 2025, tim media mencoba mengonfirmasi perkembangan proyek kepada Kepala UPTD PUPR Provinsi Sumatera Utara Wilayah Padangsidimpuan, Daksur Poso Hasibuan.
Ia menyatakan bahwa pekerjaan akan tetap dilanjutkan sesuai perpanjangan waktu (addendum), dan proyek dijadwalkan mulai kembali pada 18 Februari 2025.
Namun realita di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Tim investigasi dari Rakyat Awasi Tabagel yang melakukan peninjauan langsung ke lokasi proyek pada 11 Mei 2025 mendapati bahwa tidak ada aktivitas pembangunan yang berjalan.
Tidak ditemukan papan proyek, maupun pekerja di lokasi. Lahan sekitar bendungan pun tampak terbengkalai dan ditumbuhi semak belukar.
Kondisi ini semakin memicu kemarahan warga dan menimbulkan kecurigaan adanya pembiaran atau bahkan potensi penyimpangan dalam pelaksanaan proyek.
Warga dan aktivis masyarakat sipil kini mendesak Pemerintah Kota Padangsidimpuan dan PUPR Provinsi Sumut untuk segera membuka dokumen kontrak, anggaran, serta progres resmi proyek kepada publik.
“Ini bukan soal teknis semata. Ini soal hak petani yang diabaikan. Kami menuntut transparansi dan akuntabilitas,” ujar salah satu warga, Sola siregar.
Ketika musim tanam tiba, para petani kembali dihadapkan pada kekhawatiran: apakah mereka bisa bercocok tanam atau kembali merugi.
Jika pembangunan bendungan tak kunjung diselesaikan, dikhawatirkan krisis pertanian di Batunadua akan semakin meluas.(P.Harahap)