Dilihat: 7x

Tangerang – jurnalpolisi.id

Konflik kepemilikan lahan di Kelurahan Panunggangan Barat, Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang kembali mencuat. Sengketa ini berpusat pada status Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 06945/Panunggangan Barat atas nama PT Bina Sarana Mekar, yang diklaim memiliki luas 3.029 m². Persoalan ini menjadi perhatian luas setelah ditemukan adanya perbedaan antara hasil audit investigatif dengan klaim Pemerintah Kota Tangerang.

Latar Belakang dan Temuan Audit Investigatif

Pada 23 Maret 2021, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Tangerang menerbitkan Sertifikat HGB No. 06945/Panunggangan Barat dengan titik koordinat -6.22029242, 106.60999828. Lahan ini mencakup beberapa alamat, yakni Jalan Palem Merah Raya, Jalan Palem Semi Raya, dan Jalan Palem Raja Selatan. Namun, muncul permasalahan karena tanah tersebut diklaim sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) No. 1 milik PT Perkebunan Karawaci Sejati, yang seharusnya diperuntukkan sebagai Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU).

Dalam surat tertanggal 31 Desember 2024, Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN, Dalu Agung Darmawan, menyatakan bahwa pada 14 November 2024, PT Bina Sarana Mekar telah melepaskan hak atas tanah tersebut kepada Pemerintah Kota Tangerang untuk dijadikan PSU. Namun, Pemerintah Kota Tangerang melalui suratnya pada 13 Februari 2025 menyampaikan bahwa lahan tersebut masih bersengketa dan belum memenuhi status “clear and clean”, sehingga tidak dapat diproses untuk diserahkan sebagai PSU.

Pernyataan Kismet Chandra dan Klaim PT Satu Stop Sukses

Kismet Chandra, Direktur Utama PT Satu Stop Sukses, mengungkapkan keprihatinannya terhadap keabsahan kepemilikan lahan tersebut. Menurutnya, sertifikat HGB No. 06945/Panunggangan Barat terbit di lokasi yang seharusnya merupakan tanah pemakaman proyek perkavlingan Direktorat Jenderal Perkebunan.

“Kami sudah mengajukan pengaduan sejak 11 Oktober 2024 terkait kepemilikan tanah ini. Audit investigatif yang dilakukan Inspektorat Kementerian ATR/BPN pada 23-31 Oktober 2024 menunjukkan bahwa proses penerbitan sertifikat tidak memiliki cacat hukum. Namun, ada banyak aspek yang belum diperiksa secara mendalam,” ujar Kismet.

Ia menambahkan bahwa dalam site plan Ditjen Perkebunan, tanah ini awalnya diperuntukkan sebagai TPU. Pada 4 September 2015, terjadi tukar-menukar (ruislag) antara PT Bina Sarana Mekar dan Tim Penyelesaian Perkavlingan Perkebunan Tangerang dengan lahan seluas 3.475 m² di Bojong Nangka, yang kini berfungsi sebagai TPU. Meski demikian, status lahan di Panunggangan Barat masih menyisakan polemik.

Tuntutan Penyelesaian Sengketa

Polemik ini semakin memanas dengan permintaan sejumlah pihak agar Menteri ATR/Kepala BPN turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini. Salah satu tuntutannya adalah mengadakan pengecekan fisik tanah secara langsung bersama Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN, Kepala BPN Kota Tangerang, dan PT Bina Sarana Mekar.

Pemerintah Kota Tangerang juga diminta untuk segera melakukan pembangunan PSU di tanah yang telah diserahkan, terlepas dari siapa pemilik sebelumnya. Jika terbukti bahwa tanah ini seharusnya masih menjadi hak Ditjen Perkebunan, maka sertifikat HGB No. 06945/Panunggangan Barat perlu dibatalkan.

Lebih lanjut, pihak yang merasa dirugikan menuntut adanya pemeriksaan mendalam untuk memastikan apakah ada pemalsuan dokumen dalam penerbitan sertifikat tersebut. Jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum, kasus ini dapat dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan ancaman 6 tahun penjara, atau Pasal 35 jo. Pasal 51 (1) UU ITE dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda Rp12 miliar.

Desakan kepada Pemerintah dan Penegak Hukum

Kismet Chandra dan beberapa pihak lainnya berharap Menteri ATR/Kepala BPN segera melaporkan kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, atau Kepolisian RI jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum. Selain itu, Presiden Prabowo Subianto juga didesak untuk memantau penyelesaian masalah ini, mengingat kebijakan tegasnya terhadap pejabat yang tidak mampu memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat.

“Jika kasus ini tidak bisa diselesaikan oleh pejabat yang berwenang, kami berharap Presiden menindak tegas sesuai dengan pernyataannya dalam sidang kabinet perdana pada 23 Oktober 2024 bahwa pejabat yang tidak bekerja dengan baik harus segera diganti,” tegas Kismet.

Sengketa lahan di Panunggangan Barat mencerminkan kompleksitas masalah agraria di Indonesia. Perbedaan klaim antara audit investigatif Kementerian ATR/BPN dan Pemerintah Kota Tangerang menunjukkan perlunya transparansi dalam pengelolaan tanah, terutama terkait PSU. Kasus ini tidak hanya menyangkut kepentingan korporasi dan pemerintah, tetapi juga hak masyarakat terhadap fasilitas umum yang seharusnya tersedia dan dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Penyelesaian kasus ini akan menjadi ujian bagi pemerintah dalam menegakkan aturan agraria dan melindungi kepentingan publik. Masyarakat pun menunggu langkah konkret dari pihak terkait agar tidak ada lagi sengketa serupa di masa depan. (Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *